Skip to main content

Seni Grafis: Analisis Formal Hegemoni Teknologi


1.Model analisis
Model Analisis yang digunakan dalam proses penganalisaan karya seni grafis yang berjudul “ Hegemoni TEknologi “ ini menggunakan model yang dicetuskan oleh Feldman dalam buku “ Kritik Seni “. Model ini memiliki 4 tahapn analisis yaitu diskripsi, analisis formal, interpretasi, dan evaluasi atau keputusan. Sebenarnya penjabaran dengan model demikian memungkinkan adanya overlaping, sekalipun demikian secara fundamental operasinya berbeda.
Model ini menerapkan pola pengembangan dari tahapan yang bersifat khusus ke yang umum. Tahapan dibuat demikian karena analisis atau kritik itu bersifat empiric bukan deduktif. Tahapan khusus adalah tahapan yang berpusat pada fakta visual yang khusus, sedang tahapan umum merupakakn tahapan pengklonkusian data dan fakta secara keseluruhan.

2.Analisis karya
2.1.Diskripsi

Judul                      : “ Hegemoni Teknologi “
Media                     : Kanvas
Ukuran                   : 85 x 100 cm
Seniman                 : A.C. Andre Tanama
Tahun                    : 2006
Prestasi                  : Juara 1 Trienal Seni Grafis Indonesia II 2006
Teknik :
penggabungan antara woodcut dan digital printing.dengan pembagian, woodcut digunakan untuk membuat masternya, sedang pencetakannya menggunakan media digital printing.

Visualisasi :
Terdapat 4 ( empat ) tampilan kepala, dimana dua kepala memiliki bagian tubuh lengkap, sedang dua yang lainnya hanya kepala saja tanpa badan. Masing –masing kepala memiliki bentuk mulut yang moncong, bentuk rambut yang melingkar ke atas.
Salah satu dari ke-2 kepala yang bertubuh satu diantaranya memiliki sayap dan berpakaian dibawahnya ada segumpal asap, adapun yang satunya tidak memakai baju hanya bercelana pendek.
Tempat dimana bentuk-bentuk itu berkomposisi berada didekat tembok yang agak rompal lapisannya. Dan ditutupi dengan sesuatu pada bagian atasnya. Backgroundnya menyerupai tampilan pada alat-alat elektronik.

Biografi seniman :
belum ditemukan, yang jelas memiliki hubungan erat dengan ISI Jogyakarta

2.2.Analisis Formal
Pada “ hegemoni teknologi “ figure dibuat menyerupai manusia, penyerupaan ini dilihat dari bentuk tubuhnya, adapun bentuk kepalanya didistorsi dengan pemanjangan atau pemoncongan mulut yang menganga membulat, mata yang dibuat besar, telinga memanjang, jari-jari tangan besar, tanpa hidung dan bentuk “rambut” yang diserupakan dengan bentuk figure yang ada pada pewayangan jawa, namun pada figure ini “rambut” dibuat seakan adalah kepala itu sendiri, dimana warna “rambut” dan kepalanya adalah sama, serta tidak ditonjolkannya karakter ”rambut” yang seharusnya penuh dengan serat. Sehingga penyebutan untuk bagian “rambut” pada figure ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menyimpulkan bahwa itu adalah rambut sebenarnya pada manusia.
Peletakan figure sental pada posisi tengah agak bergeser ke kanan dengan berpose miring bersandar pada tembok disertai dengan menundukkan kepala seraya tangan kanan memegang mata, tangan kiri berpangku lemas pada lutut sebelah kiri memberi kesan haru dan sedih. Penambahan figure dengan bentuk yang sama dengan figure sentral hanya ditambah dengan sepasang sayap pada bagian punggungnya, baju kumal pada badannya, kulit lebih hitam.dan awan hitam pada bagian bawah tubuh yang memberi kesan melayang. Penambahan parsial juga terdapat pada sisi kiri dan kanan berupa kepala figure yang bersayap.
Pewarnaan dibuat dengan tipe warna kawan, warna yang tidak saling kontras kalaupun kontras intensitasnya tidak kuat. Hal ini dapat diamati dengan pengkolaborasian warna merah kemudaan dengan hijau kebiruan, putih kehitaman, dan kuning tua agak gelap serta hitam. Penerapan degradasi warna dengan cara penigkatan intensitas garis untuk bagian yang gelap dan pengeblokkan pada bagian yang benar-benar gelap.
Ilmu perpektif diterapkan dengan indicator adanya garis yang meruncing menuju garis horizon atau titik lenyap jika diteruskan.yang mensugestir adanya ruang. Background dibuat dengan warna dasar merah kemudaan, bergariskan tipe-tipe jaringan pada panel komponen peralatan eleoktronik berbasis kompleks.
Alas dibentuk dengan karakter kayu berserat searah dengan tampilan pola panel komponen peralatan elektronik, warna alaws serupa dengan warna background, pada sisi alas terdapat semacam parit dibuat dengan pertimbangan perspektif, gelap terang tetap dipehatikan.

2.3.Interpretasi
Saat memandang karya grafis Andre Tanama ( di atas) yang berjudul Hegemoni Teknologi, saya merasa bila karya cetak digital yang menjuarai Trienal Seni Grafis Indonesia II (2006) ini mendedahkan problematika tentang tubuh ( sekaligus posisinya yang mewakili kehidupan alamiah) dan posisinya yang semakin tak berdaya menghadapi cengkeraman teknologi. Sesosok tubuh dengan rambut bergelung (imaji dunia wayang, gambaran mitologis tubuh yang ideal) terduduk dengan tangan kanan tersilang di atas lutut yang tertekuk, sedang tangan kirinya menutupi muka. Seolah sedang memikirkan dilema yang pelik atau bahkan sedang berduka. Dia diapit oleh sosok tubuh bersayap (imaji ontologis malaikat) yang nampak melayang di atas gumpalan awan hitam.
Yang mencengangkan adalah wajah semua ‘mahluk’ itu mengerucut bagai tabung yang meruncing ke depan, bentuk yang mengesankan sebuah topeng oksigen bagi sebuah lingkungan yang tercemar berat. Dan itu bukanlah topeng, namun wajah kedua mahluk yang tak ubahnya mutan. Betapa hegemoni teknologi telah merembes ke ranah mitologis dan ontologis. Bukan ruang yang menjadi latar belakang adegan ini adalah cetak biru sebuah sirkuit terpadu ?
Bagi saya, ruang yang disaksikan para pemirsa (viewer) karya grafis ini jelas mejadi sebuah ruang sosial . Saya bahkan merasakan korelasi antara pemirsa dengan realitas imajiner yang cukup representasional. Soal fakta yang menjadi fiksional, dengan realitasnya yang jauh atau dekat, ruang sosial yang tergambar dalam karya grafis Andre Tanama ini menunjukkan sebuah formasi sosial yang tumpang tindih : realitas teknologis yang merasuk hingga ke bidang wacana ontologis : Apakah tubuh yang tercangkok dengan perangkat teknologis masih menunjukkan keutuhan wacana kemanusiaan dan tetap menggenggam dominasi idea ketuhanan dalam realitas dan kondisi post human ?
Film Johnny Mnemonic mungkin menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-download ke dalam ingatan Johnny, yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes dan mencemari otaknya. Adegan fiksi tadi kini bahkan meluber dengan kenyataan seorang Derek ( 14 tahun ) dengan chip ( seukuran sebutir beras ) mikro komputer yang dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah database ADS (Apllied Digital Solution, sebuah perusahaan hi-tech di Florida, AS). Chip itu sendiri multi fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (global positioning device) yang bisa melacak ke manapun Derek berada.
Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah cyborg. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi posthuman. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi sosok tak berdaya (inert mass) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’.
Karena kendali wacana inilah, hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman, atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal. Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru. Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh.
Salon-salon kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan waktu. Berbagai klinik pria juga menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang phallus. Bisa on / off semaunya tanpa memikirkan bahaya bila ‘mesin seks’yang tertanam di tubuhnya itu mogok bekerja.
Dalam konsep pemikiran posthuman memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistensi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanis sibernetik sudah jalin menjalin. Bahkan di Beijing (Desember 2006) orang-orang merasa bangga dan merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan Miss Artificial Beauty ( Ratu Kecantikan Buatan ) yang pesertanya khusus perempuan yang sudah mempercantik diri dengan operasi plastik.
Kita memang berhadapan dengan fakta , kini lah era ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran tak utuh, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam The Care of The Self (1986), bahwa ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (unhappy bodies ) sekaligus tampil sebagai tubuh yang rawan.
Bagai Narsisus yang tergila-gila pada diri sendiri, semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai hasrat untuk tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya kita paham juga betapa mudah kamera berdusta. Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (hyper desire ), setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan – mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.
Dalam sudut pandang kajian budaya, kita percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Problema kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu cara untuk mengetahui peradaban manusia adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.(Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang )

Comments

Popular posts from this blog

Seni Rupa: Konsep Berkarya Seni

Konsep adalah gambaran awal tentang sesuatu atau disebut sebagai teori awal yang mendasari suatu kegiatan (aktivitas). Setiap orang memiliki konsep yang berbeda mengenai seni rupa. Terciptanya karya seni melalui beberapa tahap yang tidak dapat terpisahkan, yakni sebagai berikut : Lukisan Anak-anak, diambil dari Jusmani a. Konsep Seni yang Berada dalam Tahapan Aktivitas Jiwa Proses pembentukan ide berasal dari penangkapan perasaan terhadap alam (sebagai objek) yang berinteraksi (mereaksi) dengan pertimbangan cita dan rasa seni seseorang. Hal ini, memunculkan ide seseorang untuk diekspresikan kedalam karya seni. b. Proses Ekspresi atau Proses Penuangan Ide Proses ekspresi atau proses penuangan ide ke dalam bentuk atau wujud karya seni adalah memuat tentang kreativitas masing-masing seniman atau pencipta seni (proses ekspresi atau proses perwujudan atau visualisasi). Oleh karena itu, konsep berkarya seni rupa sangat baku dan merupakan penentu terciptanya karya seni. Setiap

Seni Rupa : Keragaman gaya dan Aliran Seni Rupa

Gaya dalam seni rupa berhubungan erat dengan unsur kreativitas yang terdapat di setiap karya seni. Selain itu juga, bergantung pada pemilihan atau pengolahan bahan, bentuk, dan teknik berkarya. Pemilihan atau pengolahan bahan, bentuk dan teknik berkarya tersebut memunculkan aliran dalam seni rupa, antara lain : Gaya Primitif Seni rupa gaya primitif memiliki ciri-ciri, antara lain sebagai berikut : a. Seni rupa gaya primitif masa awal (masa prasejarah) tercipta bukan untuk keindahan, tetapi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kepercayaan. b. Karya seni rupa ini digunakan dalam upacara ritual atau kepercayaan. c. Bentuk karya seni rupa gaya ini terkesan misteri (kerahasiaan), magic (hal gaib), dan makna lambang. Bentuk karya seni rupa gaya primitif kebanyakan bersifat a. tercipta dengan ekspresif (penuh emosional atau ungkapan perasaan) b. proporsi bentuk tidak sempurna atau tidak wajar, penuh distorsi (pengeliatan, penyangatan, dan pengurangan) atau dilebih-lebihkan. c. karya yang d

5 Kriteria KArya Seni Rupa Terapan Yang Baik

Berikut adalah kriteria karya seni rupa terapan yang baik yaitu: Ide Seseorang dalam menanggapi alam akan timbul kekaguman terhadap keindahannya sehingga muncul gagasan untuk menuangkan ke dalam karya seni rua. Suatu kondisi pribadi dan status seseorang karena pengalaman yang berbeda-beda menentukan persepsi baru. Setiap pribadi yang terbentuk dengan kukuh dan kuat dibina oleh unsur-unsur dari dalam (internal) dan unsur-unsur dari luar(ekesternal). Seorang seniman bermutu akan menghasilkan karya khas pribadi dengan simbol pribadinya. Dengan demikian simbol tersebut dapat ditangkap oleh orang di sekitarnua sehingga menjadi suatu karya seni yang berbobot dan komunikatif. Kreativitas Penciptaan karya seni dengan menwujudkan sesuatu yang belum pernah ada, mempunyai arti dan nilai baru disebut kreativitas. Daya kreasi yang kuat berarti kekuatan menciptakan hal-hal baru dalam karya seni rupa yang baik akan terkandung unsur kreativitas yang kuat. Komposisi Karya yang baik memili